TEMPO.CO, Jakarta – Hitam, gelap menyiratkan misteri. Ketika tiba-tiba sebentuk cahaya bulat dengan bayangan seperti moncong serigala. Sesaat saja setelah itu kembali gelap. Dinding layar berwarna abu-abu kemudian seperti dirobek oleh sesosok mahluk. Dengan iringan musik yang mengantar suasana seram, makhluk itu perlahan-lahan tapi pasti keluar. Menyusul sebentuk wajah keriput dengan baju lusuh berwarna kelam.
Makhluk-makhluk dengan penampilan sedikit seram itu muncul di pertunjukan wayang boneka The Little Magic Theater (‘T Magisch Theatertje”). Tampil di Erasmus Huis Jakarta, Sabtu malam, 14 September 2013, kelompok asal Belanda itu menampilkan lakon berjudul Panta Rhei II.
The Little Magic Theater adalah teater seni rupa terkenal asal Belanda yang sering tampil di berbagai negara selama 35 tahun. Pertunjukan-pertunjukan mereka sangat sesuai untuk penonton dewasa, yang mengaitkan dunia mistik, kecantikan dan keajaiban. Wayang boneka dan topeng-topeng mereka diangkat dari ide filsuf tua Yunani, Heraclitès.
Wayang boneka ini diciptakan dan dimainkan oleh Charlotte Puijk-Joolen. Seniman wayang boneka ini telah mendapat lebih dari 21 penghargaan. “Saya bisa memainkan wayang boneka ini setelah belajar lebih dari 10 tahun dari ahli wayang di Belanda,” ujarnya kepada Tempo, seusai pentas.
Sepanjang 60 menit, pertunjukan wayang boneka itu menampilkan potongan adegan-adegan pendek yang saling terkait satu sama lain. Tentang kehidupan maupun kematian yang disimbolkan dengan wayang burung nasar dan tengkorak.
Joolen memainkan wayang bonekanya di dalam sebuah tenda di atas panggung dengan lubang berdiameter 50 sentimeter. Jari-jari tangannya, yang berselubung kain, memainkan wayangnya dari lubang itu, dengan iringan musik atau suara yang mendukung cerita.
Menurut Joolen, wayang bonekanya terbuat dari bahan-bahan alam dan bekas pakai seperti ranting pohon, kertas, kain perca, sisa kaos tangan atau stocking, bahan seperti goni. Agar lebih hidup, dia memberi warna atau gambar di material itu.
Joolen mengaku tak terlalu suka bahan-bahan polyester atau latex. “Saya tidak terlalu suka materialnya, lebih suka bahan sisa dan alami karena suka baunya,” ujar perempuan 61 tahun ini. Bahan-bahan inilah yang membuat kreasi yang terinspirasi dari ranting-ranting, bayangan lukisan yang tercipta di bawah sinar itu terlihat lebih hidup.
Joolen ingin menyajikan tentang kehidupan, apa yang dialami manusia–termasuk kematian. Pentas wayang boneknya menampilkan sosok yang gelap, kelam. Hitam,kelam menyiratkan dunia kematian. Kebanyakan orang takut mati dan kematian.” Waktu muda dulu saya juga begitu, tapi semakin bertambah usia saya punya pandangan lain. Oh mungkin itu indah. Saya juga tidak ingin menakut-nakuti. Hanya ingin berbagi saja,” katanya.
Joolen menutup pentas dengan sebentuk wajah keriput dan “bulan” merah di panggung. Usai pentas penonton antusias mengerubunginya. Mereka melihat dan menanyakan bagaimana proses kreatif wayang itu di jarinya.
DIAN YULIASTUTI
YOUR COMMENT